RANGKUMAN KASUS GAGAL BAYAR PEMBAYARAN KLAIM ASURANSI JIWASRAYA


 

 A. Latar Belakang dan Kronologi Kejadian Kasus Gagal Bayar Jiwasraya  
  1. Kronologi Kejadian Versi OJK
               Sebenarnya kasus ini telah bermula sejak tahun 2004, perusahaan melaporkan cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvensi (risiko pailit) mencapai Rp2,76 triliun. Selang dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006 laporan keuangan perusahaan menunjukkan ekuitas negatif Rp3,29 triliun. Aset yang dimiliki perusahaan jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan tahun 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Selanjutnya, pada tahun 2008-2009 defisit perusahaan semakin lebar, yakni Rp5,7 triliun pada tahun 2008 dan Rp6,3 triliun pada tahun 2009. Melihat kondisi tersebut Jiwasraya mulai melakukan langkah penyelamatan jangka pendek (reasuransi). Kemudian Kementerian BUMN menyampaikan kepada direksi Jiwasraya akan tetap mempertahankan kelangsungan usaha dan meminta langkah konkret secara menyeluruh sehingga permasalahan Jiwasraya dapat diselesaikan Berikutnya pada kurun waktu tahun 2010-2012, Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 triliun pada akhir tahun 2011. Saat itu, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/Bapepam-LK (kini OJK) meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental jangka pendek. Pada tahun 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan pada 18 Desember 2012. JS Proteksi Plan dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance) melalui Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY. Per 31 Desember 2012, lewat skema finansial reasuransi Jiwasraya masih mencatat surplus Rp1,6 triliun. Namun, tanpa skema finansial reasuransi, maka Jiwasraya mengalami defisit sebesar Rp3,2 triliun. Pada tahun 2013, fungsi, tugas, dan wewenang Bapepam-LK resmi beralih kepada OJK. Saat itu, OJK meminta Kementerian BUMN menyampaikan langkah alternatif penyehatan keuangan Jiwasraya beserta jangka waktu penyehatan, karena memiliki permasalahan rasio solvabilitas (RBC) kurang dari 120 persen. Direksi Jiwasraya menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan, revaluasi menjadi RP6,56 triliun dan mencatatkan laba Rp457,2 miliar. Pada rentang tahun 2013-2016, OJK memeriksa langsung Jiwasraya dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Tidak dijelaskan lebih lanjut isi dari pemeriksaan tersebut. Kemudian, audit BPK 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang Jiwasraya dan laporan aset investasi keuangan melebihi realita (overstated) dan kewajiban di bawah realita (understated). Akhirnya, pada tahun 2016, OJK meminta Jiwasraya menyampaikan rencana pemenuhan rasio kecukupan investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme reasuransi. Perlu diketahui bahwa sepanjang tahun 2013-2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat karena penjualan produk JS Saving Plang dengan periode pencairan setiap tahun. Produk JS Saving Plan ini yang digadang-gadang melatarbelakangi terjadinya penyimpangan investasi, karena demi mengejar ritek, jiwasraya melakukan investasi sembrono yang memiliki  risiko tinggi Namun, pada tahun 2017, OJK mengklaim telah meminta Jiwasraya mengevaluasi produk tersebut agar sesuai kemampuan pengelolaan investasi. Pada tahun yang sama, OJK mengklaim memberikan sanksi peringatan pertama karena Jiwasraya terlambat dalam menyampaikan laporan aktuaria tahun 2017. Saat itu, kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik. Laporan keuangan Jiwasraya pada tahun 2017 positif dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun. Selain itu, perusahaan meraup laba Rp2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016. Lalu ekuitas surplus Rp5,6 triliun, tetapi terdapat kekurangan cadangan premi sebesar Rp7,7 triliun karena belum memperhitungkan penurunan aset. Pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya membahas penurunan pendapatan premi secara signifikan akibat penurunan guaranteed return (garansi imbal hasil) atas produk JS Saving Plan. Ini merupakan imbas dari evaluasi produk tersebut. Pada Mei 2018 terjadi pergantian direksi Jiwasraya, dimana Asmawi Syam ditunjuk menjadi direktur utama. Di bawah kepemimpinannya, direksi baru melaporkan terdapat kejanggalan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Indikasi kejanggalan itu benar, karena hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) atas laporan keuangan 2017 mengoreksi laporan keuangan interim dari laba sebesar Rp2,4 triliun menjadi hanya Rp428 miliar. OJK juga mengenakan denda administratif sebesar Rp175 juta atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan 2017. Pada Oktober-November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Perusahaan mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar. OJK mengadakan rapat dengan direksi Jiwasraya dengan agenda membahas kondisi perusahaan pada kuartal III 2018 dan upaya manajemen Jiwasraya mengatasi kondisi perseroan. Pada bulan yang sama, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai Direktur Utama menggantikan Asmawi Syam. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan Jiwasraya banyak melakukan investasi pada aset berisiko. Tujuannya untuk mengejar imbal hasil tinggi, sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian. Hexana mengungkap Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (RBC) 120 persen. Tak hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun. Akibatnya, ekuitas jiwasraya negatif sebesar Rp27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.  
      2.  Kronologi Kejadian Versi BPK 
             Adapun kasus Jiwasraya disebut-sebut bermula sejak tahun 2002. Saat itu, jiwasraya dikabarkan sudah mengalami kesulitan. Namun, berdasarkan catatan BPK, Jiwasraya telah membukukan laba semu sejak 2006. Alih-alih memperbaiki kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan saham berkualitas, Jiwasraya justru menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepak bola dunia, Manchester City, pada 2014. Pada tahun 2015, Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Sayangnya, dana tersebut kemudian diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah. Pada tahun 2017, Jiwasraya kembali memperoleh opini tidak wajar dalam laporan keuangannya. Padahal, saat ini Jiwasraya mampu membukukan laba Rp 360,3 miliar. Opini tidak wajar itu diperoleh akibat adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun. Agung mengatakan jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, seharusnya perusahaan menderita rugi (pada saat itu). Berlanjut ke tahun 2018, Jiwasraya akhirnya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp 15,3 triliun. Pada September 2019, kerugian menurun jadi Rp 13,7 triliun. Kemudian pada November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp 27,2 triliun. Disebutkan sebelumnya, kerugian itu terutama terjadi karena Jiwasraya menjual produk JS Saving Plan dengan cost of fund tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Apalagi berdasarkan catatan BPK, produk JS Saving Plan merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi sejak tahun 2015. BPK telah melakukan pemeriksaan dalam kurun waktu tahun 2010-2019, BPK telah dua kali melakukan pemeriksaan atas Jiwasraya, yaitu Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) tahun 2016 dan pemeriksaan investigatif pendahuluan tahun 2018. Dalam investigasi tahun 2016, BPK mengungkapkan 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya operasional tahun 2014-2015. Temuan tersebut mengungkapkan, Jiwasraya kerap berinvestasi pada saham gorengan, seperti TRIO, SUGI, dan LCGP. Lagi-lagi, investasi tak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai. Pada tahun 2016 pula, Jiwasraya telah diwanti-wanti berisiko atas potensi gagal bayar dalam transaksi investasi dengan PT Hanson Internasional. Ditambah, Jiwasraya kurang optimal dalam mengawasi reksadana yang dimiliki. Jadi masalah-masalah ini sudah dideteksi pada tahun 2016. Pemeriksaan BPK tahun 2018, menindaklanjuti hasil temuan 2016, BPK akhirnya melakukan investigasi pendahuluan yang dimulai pada 2018. Yang menggemparkan, hasil investigasi ini menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi fraud dalam mengelola saving plan dan investasi. Potensi fraud disebabkan oleh aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized loss. Kemudian, pembelian dilakukan dengan negosiasi bersama pihak-pihak tertentu agar bisa memperoleh harga yang diinginkan. Pihak yang diajak berinvestasi saham oleh manajemen terkait transaksi ini adalah grup yang sama sehingga ada dugaan dana perusahaan dikeluarkan melalui grup tersebut. Parahnya, selain investasi pada saham gorengan, kepemilikan saham tertentu melebihi batas maksimal di atas 2,5 persen. Saham-saham gorengan yang kerap dibelinya, antara lain saham Bank BJB (BJBR), Semen Baturaja (SMBR), dan PT PP Properti Tbk. Saham-saham gorengan tersebut berindikasi merugikan negara sebesar Rp 4 triliun. Pembelian dilakukan dengan negoisasi bersama pihak-pihak tertentu agar bisa memperoleh harga yang diinginkan. Tak sampai di situ, investasi juga dilakukan pada saham-saham yang tidak likuid dengan harga tak wajar, juga disembunyikan pada beberapa produk reksadana. Pada posisi per 30 Juni 2018, Jiwasraya diketahui memiliki 28 produk reksadana dengan 20 reksadana di antaranya memiliki porsi di atas 90 persen dimana sebagian besar reksadana berkualitas rendah dan tidak likuid, kemudian BPK menemukan indikasi kerugian negara sementara akibat penurunan nilai diperkirakan Rp. 6,4 triliun. Selanjutnya, pemeriksaan BPK pada tahun 2019, BPK  mendapat permintaan dari Komisi XI DPR RI dengan surat Nomor PW/19166/DPR RI/XI/2019 tanggal 20 November 2019 untuk melakukan PDTT lanjutan atas permasalahan itu. Selain DPR, BPK juga diminta oleh Kejaksaan Agung untuk mengaudit kerugian negara. Permintaan itu dilayangkan melalui surat tanggal 30 Desember 2019. Disini sudah jelas bahwa penanganan kasus Jiwasraya bukan hanya masuk di ranah audit, tapi juga sudah masuk di ranah penegakan hukum. Kasus masih terus berlanjut, BPK pun saat ini tengah melakukan dua pekerjaan, yaitu melakukan investigasi untuk memenuhi permintaan DPR dan menindaklanjuti hasil investigasi pendahuluan. Sekaligus menghitung kerugian negara atas permintaan Kejagung. BPK dan Kejagung berjanji, dalam kurun waktu dua bulan pihaknya akan mengungkap pelaku yang terlibat, institusi yang terlibat, dan angka pasti kerugian negara.  

B.  Pelanggaran Etika yang Terjadi Pada Kasus Gagal Bayar Jiwasraya 
1. Melanggar prinsip kehati-hatian saat berinvestasi Laporan audit BPK menyebutkan bahwa Jiwasraya banyak melakukan investasi pada asset beresiko. Tujuannya adalah untuk mengejar imbal hasil tinggi, sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian.  
2. Penyimpangan investasi saham Jiwasraya telah melakukan investasi pada asset-aset beresiko. Mereka melakukan investasi sembrono yang memiliki resiko tinggi, tetapi mereka tetap melakukannya. Berdasarkan pemeriksaan BPK pada tahun 2018 hasil ini menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi fraud dalam mengelola saving plan dan investasi. Potensi fraud disebabkan oleh aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized loss. Investasi dilakukan ke saham-saham yang tidak likuid dengan harga yang tidak wajar, juga disembunyikan pada beberapa produk reksadana. Pada posisi per 30 Juni 2018, Jiwasraya diketahui memiliki 28 produk reksadana dengan 20 reksadana di antaranya memiliki porsi di atas 90 persen dimana sebagian besar reksadana berkualitas rendah dan tidak likuid. 
3. Laporan keuangan yang tidak dapat diyakini kebenarannya Pada Mei 2018, telah terjadi pergantian direksi, dan direksi baru tersebut telah melaporkan bahwa terdapat kejanggalan dlaporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Indikasi kejanggalan itu benar karena hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) atas laporan keuangan tahun 2017 mengoreksi laporan keuangan interim dar laba sebesar Rp. 2,4 triliun menjadi hanya Rp. 428 miliar.  

C.  Solusi yang Harus Dilakukan Terhadap Kasus Gagal Bayar Asuransi Jiwasraya 
Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan terkait kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya menurut Kementerian BUMN :
1. Restrukturisasi utang dari Jiwasraya khususnya untuk saving plan. 
2. Pendirian holding asuransi. Hanya saja Kementerian BUMN masih menunggu rampungnya peraturan pemerintah terkait holding tersebut, karena tidak bisa membuat holding apabila tidak ada peraturan pemerintah. 
3. Kerjasama dengan BUMN untk bentuk anak perusahaan Ada wacana untuk melakukan kerjasama dengan BUMN dan membuat anak perusahaan Jiwasraya Putra, dimana apabila ada hasil investor yang masukbisa dipakai untuk pengembalian dana nasabah. Hal ini ditargetkan akan selesai pada kuartal I sampai dengan kuartal II 2020. 
4. Menjual portofolio saham Ini bisa dilakukan dengan melihat apakah ada saham yang bisa dijual dengan harga yang baik.


EmoticonEmoticon